“ Terkadang, ketika aku berada di puncak – puncak dataran tertinggi, menikmati pandangan luas dari hiruk pikuk kota, atau menatap teduh awan awan yang beriring, aku tak ingin apa-apa lagi, cukup ada kamu yang ikut menikmati semua anugerah Tuhan ini dan kamu tahu? Aku bahagia.. Sederhana bukan?”
Seketika aku berpikir seperti itu, saat malam itu mataku
seperti diberi vitamin A yang mampu menyegarkan pandangan. Suguhan manis
tentang kota ini yang konon katanya merupakan sebuah danau purba, dan aku
seperti berada disisi danau yang berisi lampu lampu dengan cahaya seperti
kilauan bintang. Memang tak seindah ketika aku pertama kali berada disini.
Perkembangan pesat kota ini berdampampak pada polusi cahaya yang tak bisa
dihindari lagi. Oke, lupakan tentang polusi cahaya itu, yang aku tahu, sejak
malam mulai merenggut singasana senja, lampu – lampu kota itu makin mempesona,
seolah ingin menandakan bahwa disana ada kehidupan.
Kamu mungkin bisa menebak aku sedang berada dimana? Atau
kamu tidak tahu? Baiklah, akan aku beri tahu, aku sedang berada di gunung
Burangrang. Gunung yang menurut mitos merupakan sisa kayu yang terlempar saat
Sangkuriang mendengang perahunya. Secara hitungan, gunung ini tak setinggi
gunung-gunung lain yang pernah aku injaki. Tapi gunung ini selalu istimewa,
karena aku selalu suka pemandangan yang akan aku dapati, ya pemandang yang aku
ceritakan di atas. Pemandangan yang selalu membuatku tak henti memuji
asmaTuhanku.
Sebenarnya, tanpa aku ceritakan pun kamu sudah bisa menebak
bagaimana “mahalnya” harga yang harus aku bayar untuk menikmati itu semua.
Membayar tak melulu menggunakan materi bukan? Aku harus membayar dengan
menginjaki setapak demi setapak yang terjal. Masalah trek perjalanan, gunung
ini juaranya. Sepanjang perjalanan aku harus rela dipermainkannya. Terkadang aku
harus menurun dan tentu saja setelah menurun suguhan berikutnya adalah
terjalan. Begitu seterusnya. Lalu dengan rela aku harus melaluinya. Sungguh
hanya dengan kerelaan, perjalanan ini terasa nikmat. Sambil sesekali melirik kebelakang
menanti kawan sambil melempar senyuman. Tentu saja senyuman dengan penuh
kerelaan juga.
Dan setelah menikmati semuanya, tak perlu berlebihan. Kini
tiba waktunya kembali, dengan penuh kerelaan pula aku kembali. Tak berat aku
meninggalkan tempat ini, karena aku yakin saat waktunya tiba aku akan kembali
lagi ke tempat ini. Jika pun aku tak kembali, aku yakin aku punya tempat lain
yang masih bisa aku nikmati. Alam ini luas bukan?
Mungkin aku harus seperti ini pula. Penuh kerelaan. Ketika itu
aku begitu rela tanpa alasan apapun belajar untuk belajar memahami kelebihanmu
dan belajar melengkapi kekuranganmu. Kini saat waktu dan keadaan tak
mengizinkanku untuk belajar untuk memahami kelebihanmu dan belajar melengkapi
kekuranganmu, aku harus rela untuk berhenti belajar. Dan mungkin saat nanti
waktu kembali memberi kesempatan itu lagi, aku pun harus rela. Meskipun melaksanakannya,
tak sesederhana menulis kata RELA, tapi aku akan belajar serela aku mengikuti
permainan treking jalur burangrang.
Apa bisa di artikan IHKLAS?
ReplyDeletega tau.. masih belum ngerti arti IKHLAS..
DeleteTulisannya bagus, diksinya jg keren...
ReplyDelete