Thursday, March 5, 2015

SENANDUNG HUJAN



Aku menyuruhmu melihat setangkai bunga di dada
bersemi tanpa layu
bertahan dalam masa dan musim

Maka saat hujan datang, bertaruhlah. Aku akan mengalirkan tinta dalam lukisan tak berjudul. Mencoba melemparkan mata kail ke atas langit. Menariknya dengan lembut hingga langit tiba di atas telapak tangan untuk langsung membasuh kedua tangan dengan airnya. Dingin memang, tapi dingin ini aku yang mengingatknya. Membiarkannya membekukan kacau agar tak menyebar ke tempat lain. Hujan masih bermata santun, namun terlihat bercuriga. Seolah ingin menampar keadaan yang terhenti. Aku masih terdampaR dalam langit langit daun. Mencoba merapal dan menghapal keinginan lalu. Aku bangkit besama dingin saat kaki terbujur kaku. Hujan berjanji akan memberikan hujan hangat yang mampu meniupkan udara seriang dulu. Ku ajak semua bangkit. Cacing tanah, gemuruh ombak, nyayian tokek dan kicauan jangkrik. Mereka mengantarkan simerah saga bertahta kembali. Senja telah tiba. Dingin pun menguap. Aku mampu merapal candanya meski tak berkenalan pasti. Menari nari pada halaman muka. Tempat para mawar kembali mekar. Ada semerbak wanginya. Ada baumu juga, dalam riak pinggir sungai yang terdengar merdu.
 

Kubiarkan dingin menggigilkan sekujur tubuh
Agar kelak mampu menjelma menjadi tangkai

No comments:

Post a Comment