Sebelum esok berubah manjadi hari ini, saat ini aku hanya ingin mengucap syukur
karena telah diberi kesempatan untuk mengenalmu sejauh ini. Meskipun pada
akhirnya kita tidak berkenalan sejauh apa yang aku harapkan. Kamu yang pergi
tanpa isyarat itu pernah membuatku sekejap bagai kehilangan udara. Kehilangan
oksigen yang pernah menyegarkan paru – paru ku. Seketika pula aku sibuk mencari
oksigen lain untuk mempertahankan hidupku. Maka ketika itu sepersekian detik
aku berhenti, menatap kabur interferensi sinar senja yang menyelusup lewat cela
cela jendela. Seolah menerawang apa yang akan terjadi esok hari, saat tersadar
kau pergi sejauh yang kau bisa. Dan kau pun benar benar pergi ksatriaku.
Jika saat itu, kamu dan orang orang disekitarku mengatakan
bahwa kamu telah menyakitiku. Anehnya, aku tak pernah merasa tersakiti. Ya,
saat itu aku merasa kecewa, tapi setelahnya logika dan imajiku mewajarkan
semuanya. Logikaku berkata tak ada yang salah, dan perasaan mengiyakan tak
perlu ada yang di maafkan. Aku bodoh saat itu? Ah, mungkin saja benar aku
terlalu bodoh. Kau pasti tau persis Ksatria manisku, bahwa wanita akan tampak
bodoh jika perasaannya sudah mengambil alih. Tapi aku menolak di panggil bodoh
Ksatriaku. Aku hanya mewajarkan semuanya, karena aku terlalu so tahu meski tak
memahami benar tentang sifat dasar kelompok manusia berjenis pria, seperti
dirimu.
Waktu akan selalu berubah, Kstriaku. Maka selayaknya pula
aku dan kamu harus berubah. Setelah kita mengalami berbagai pola tempaan dengan
cara yang terbaik yang diberikan Tuhan, Aku berharap kita banyak berubah,
menjadi lebih baik tentunya. Bukankah itu hasil akhir dari sebuah proses
pembelajaran. Kamu harus semakin dewasa Ksatriaku, dan beberapa sifatmu harus
berubah pula. Aku akan selalu baik meskipun jika memang mengengam jarimu
kembali hanya sebatas asa dan kembali menjadi wanitamu hanya sebatas mustahil.
Kamu tetap ada di antara doa panjangku. Tak ada yang lebih masuk akal saat ini
selain mendoakanmu dan berharap Tuhan menarik dirimu yang jauh untuk segera
mendekat. Ketika kamu berfikir ini gila, aku hanya berfikir bahwa kamu pantas
utuk di perjuangkan Kstriaku, meskipun hanya ku perjuangkan dalam untaian doa
panjang.
Ksatriaku, semua ini seperti suara yang bergema cukup keras.
Namun sangat sulit didengar karena terbatasnya kapasitas pendengaran. Aku yang
pernah ada, namun selanjutnya aku bukan siapa siapa lagi yang bahkan mungkin
tak layak meskipun hanya sekedar untuk diingat saja. Aku yang perlahan lenyap
diantara wanita wanita lain yang kau gilai atau bahkan mengilaimu.Aku akan
kembali jadi wanita yang berada diberanda, menanti ksatrianya pulang membuka
pintu pagar lalu memelukku seraya berkata kaku aku rindu kamu wanitaku.
Ksatriaku Sayang, bukan aku ingin mengemis. Aku tak tahu
siapa yang salah. Aku tak ingin tahu siapa yang harus bertanggung jawab apalagi
menyalahkan keadaan ini. Aku, kamu, dan dia sama saja. Sama – sama manusia yang
selalu ingin menjadi yang terbaik. Aku telah memilihmu, memilih mengasihimu,
memilih menyayangimu. Menyayangi semua yang kau miliki, menyayangi semua
mimpimu.
Maka saat ini, biarkan aku menjadi wanita yang sabar
menanti. Menanti Kstriaku pulang meskipun ku tahu Ksatriaku belum tentu pulang.
Biarkan aku sibuk berdiam di beranda meskipun ku tahu Kstriaku belum tentu kembali.Biarkan
aku menjadi perindu, meskipun aku tahu Kstriaku tak pernah meminta untuk
ditungu.
Wahai pria pengagum senja, wahai pria pembawa senyum, wahai
pria yang menjadi oase gersangku. Terima kasih sudah singgah. Terima kasih
untuk semua hal yang sebenarnya tak layak jika aku harus menggargaimu hanya
dengan ucapan terima kasih.
Pulanglah Kstriaku. Berhentilah berpetemur, ku hapus peluhmu
karena kamu butuh pelukan.
(Inspiration by dwitasari )
Untuk ksatriaku
No comments:
Post a Comment