Wednesday, July 9, 2014

Ksatriaku



Sebelum esok berubah manjadi hari ini,  saat ini aku hanya ingin mengucap syukur karena telah diberi kesempatan untuk mengenalmu sejauh ini. Meskipun pada akhirnya kita tidak berkenalan sejauh apa yang aku harapkan. Kamu yang pergi tanpa isyarat itu pernah membuatku sekejap bagai kehilangan udara. Kehilangan oksigen yang pernah menyegarkan paru – paru ku. Seketika pula aku sibuk mencari oksigen lain untuk mempertahankan hidupku. Maka ketika itu sepersekian detik aku berhenti, menatap kabur interferensi sinar senja yang menyelusup lewat cela cela jendela. Seolah menerawang apa yang akan terjadi esok hari, saat tersadar kau pergi sejauh yang kau bisa. Dan kau pun benar benar pergi ksatriaku.

Jika saat itu, kamu dan orang orang disekitarku mengatakan bahwa kamu telah menyakitiku. Anehnya, aku tak pernah merasa tersakiti. Ya, saat itu aku merasa kecewa, tapi setelahnya logika dan imajiku mewajarkan semuanya. Logikaku berkata tak ada yang salah, dan perasaan mengiyakan tak perlu ada yang di maafkan. Aku bodoh saat itu? Ah, mungkin saja benar aku terlalu bodoh. Kau pasti tau persis Ksatria manisku, bahwa wanita akan tampak bodoh jika perasaannya sudah mengambil alih. Tapi aku menolak di panggil bodoh Ksatriaku. Aku hanya mewajarkan semuanya, karena aku terlalu so tahu meski tak memahami benar tentang sifat dasar kelompok manusia berjenis pria, seperti dirimu.

Waktu akan selalu berubah, Kstriaku. Maka selayaknya pula aku dan kamu harus berubah. Setelah kita mengalami berbagai pola tempaan dengan cara yang terbaik yang diberikan Tuhan, Aku berharap kita banyak berubah, menjadi lebih baik tentunya. Bukankah itu hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran. Kamu harus semakin dewasa Ksatriaku, dan beberapa sifatmu harus berubah pula. Aku akan selalu baik meskipun jika memang mengengam jarimu kembali hanya sebatas asa dan kembali menjadi wanitamu hanya sebatas mustahil. Kamu tetap ada di antara doa panjangku. Tak ada yang lebih masuk akal saat ini selain mendoakanmu dan berharap Tuhan menarik dirimu yang jauh untuk segera mendekat. Ketika kamu berfikir ini gila, aku hanya berfikir bahwa kamu pantas utuk di perjuangkan Kstriaku, meskipun hanya ku perjuangkan dalam untaian doa panjang.

Ksatriaku, semua ini seperti suara yang bergema cukup keras. Namun sangat sulit didengar karena terbatasnya kapasitas pendengaran. Aku yang pernah ada, namun selanjutnya aku bukan siapa siapa lagi yang bahkan mungkin tak layak meskipun hanya sekedar untuk diingat saja. Aku yang perlahan lenyap diantara wanita wanita lain yang kau gilai atau bahkan mengilaimu.Aku akan kembali jadi wanita yang berada diberanda, menanti ksatrianya pulang membuka pintu pagar lalu memelukku seraya berkata kaku aku rindu kamu wanitaku.

Ksatriaku Sayang, bukan aku ingin mengemis. Aku tak tahu siapa yang salah. Aku tak ingin tahu siapa yang harus bertanggung jawab apalagi menyalahkan keadaan ini. Aku, kamu, dan dia sama saja. Sama – sama manusia yang selalu ingin menjadi yang terbaik. Aku telah memilihmu, memilih mengasihimu, memilih menyayangimu. Menyayangi semua yang kau miliki, menyayangi semua mimpimu.
Maka saat ini, biarkan aku menjadi wanita yang sabar menanti. Menanti Kstriaku pulang meskipun ku tahu Ksatriaku belum tentu pulang. Biarkan aku sibuk berdiam di beranda meskipun ku tahu Kstriaku belum tentu kembali.Biarkan aku menjadi perindu, meskipun aku tahu Kstriaku tak pernah meminta untuk ditungu.

Wahai pria pengagum senja, wahai pria pembawa senyum, wahai pria yang menjadi oase gersangku. Terima kasih sudah singgah. Terima kasih untuk semua hal yang sebenarnya tak layak jika aku harus menggargaimu hanya dengan ucapan terima kasih.

Pulanglah Kstriaku. Berhentilah berpetemur, ku hapus peluhmu karena kamu butuh pelukan.

                                              
(Inspiration by dwitasari )
Untuk ksatriaku

No comments:

Post a Comment